Hadits Ahad Memberikan Keyakinan Yang Bersifat Nazhari
HADITS AHAD MEMBERIKAN KEYAKINAN YANG BERSIFAT NAZHARI
Oleh
Ustadz Agus Hasan Bashori
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, berbagai macam penyimpangan dalam pemikiran dan aqidah saling bermunculan. Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, telah menjadi ajang kekonyolan mereka. Pendapat-pendapat ganjil mereka usung, dan mereka sebarluaskan untuk mendiskreditkan Ahli Sunnah, mendistorsi ajaran Sunnah. Ini mereka lakukan dengan kedok melindungi aqidah yang benar dan membentengi keimanan dari keraguan.
Diantara prinsip sesat dan batil yang terlontar, misalnya pernyataan : “hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah dalam bidang aqidah”, “membangun aqidah dengan hadits ahad adalah batil dan haram”, “hadits ahad yang tidak sejalan dengan akal dan dzauq (rasa), wajib diragukan atau ditolak”. Bahkan yang lebih sesat dari ini, yaitu kelompok yang berdiri di atas paradigma “setiap hadits Nabi yang tidak sesuai dengan peradaban Barat wajib ditafsir ulang atau ditolak”.
Buku-buku serta tulisan orang yang menolak hadits ahad sebagai dasar hukum dalam bidang aqidah atau mengharamkan hadits ahad sebagai hujjah dalam keimanan, telah tersebar luas dan meracuni umat Islam. Sebut saja misalnya buku Al Istidlal Bi Al Zhan Fi Al Aqidah (Muhammad Salim), buku Absahkah Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Siksa Kubur? (Syamsuddin Ramadhan), buku Masalah-Masalah Khilafiyyah Diantara Gerakan Islam, makalah Sekali Lagi Tentang Hadits Ahad (Muhammad Umar Bakri dan Muh. Lazuardi Al Jawi), makalah Surat Terbuka Kepada Kelompok Salafi (Muh. Lazuardi Al-Jawi), dan lain-lain. Yang seluruhnya bernada sama, yaitu menyampaikan pesan bahwa hadits ahad itu sama dengan zhan. Sedangkan zhan tidak boleh diyakini. Meyakini yang zhan adalah batil dan haram, karena itu wajib diingkari.
Lucunya, kesimpulan semacam ini dikesankan seolah-olah merupakan Ijma’ (kesepakatan) para sahabat dan ulama. Sehingga tidak mengherankan, jika –misalnya- Muhammad Umar Bakri dalam makalahnya yang hanya 11 halaman itu menyebutkan tidak kurang dari 130 nama ulama Salaf, Khalaf dan para cendekiawan. Begitu pula selain Muhammad Umar. Akan tetapi, isinya kalau tidak salah data, maka salah dalam terjemah, atau salah dalam analisa dan pemahaman. Bahkan ada yang salah dalam menulis judul. Misalnya buku yang berjudul Absahkah Berdalil Dengan Hadits Ahad Dalam Masalah Akidah dan Siksa Kubur. Ternyata judul buku ini juga ditulis dengan bahasa Arab sebagai berikut: (هل الصحة؟ الاستدلال با لظن فى العقيدة و العذاب القبرى) padahal seharusnya : (هل يصح الاستدلال بخبرالآحاد), karena kalimat tanya: (هل الصحة), adalah salah menurut bahasa Arab. Sedangkan perkataan: (الاستدلال با لظن), salah menurut ushul dan kaidah. Sebab zhann tidak identik dengan hadits ahad, dan hadits ahad pun bukan sinonim bagi zhann. Jadi, judul buku ini saja telah mengandung unsur jahl (kebodohan) dan sekaligus zhulm (aniaya). (Sebab telah menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu mengidentikkan zhann dengan hadits ahad.-red).
Faktor utama yang menyebabkan mereka menyimpang, adalah pemahaman yang salah tentang para ulama serta perkataan mereka mengenai hadits ahad. Oleh karena itu, di sini akan saya paparkan tentang kekuatan informasi yang ditunjukkan oleh hadits ahad; apakah ia memberikan keyakinan secara mutlak atau bersyarat? Ataukah ia memberi makna dugaan secara mutlak? Dan apakah ia boleh menjadi sandaran dalam aqidah?
Tulisan berikut ini, diambil dari skripsi saya berjudul Khabar Al Ahad ‘Inda Al Ushuliyyin, yang saya tulis pada tahun 1413 di bawah bimbingan Dr. Ahmad Al Khatm Al-Sudani Al Ushuli.
PENGERTIAN HADITS AHAD
Ahad (آحاد) adalah bentuk jamak dari ahad (أَحَد), yang berarti satu orang yang sendirian, atau orang yang tidak ada duanya. Akan tetapi -dalam istilah ulama ushul- yang dimaksud dengan hadits ahad, adalah kabar berita yang dengan sendirinya tidak memberikan ilmu (keyakinan). Dalam arti, apakah tidak memberikan ilmu sama sekali? Ataukah memberikan ilmu dengan adanya qarinah (indikator) dari luar dirinya? Ini adalah definisi jumhur (mayoritas ulama). Jadi, berdasarkan definisi ini, hadits mustafidh atau masyhur juga termasuk ahad.
Berbeda dengan kelompok Hanafiyyah. Al Amidi (w. 631 H) mengatakan: “Definisi yang paling dekat (kepada kebenaran tentang hadits ahad) adalah kabar yang tidak sampai pada batas mutawatir”.
KEKUATAN HADITS AHAD
Para ulama bersepakat, bahwa hadits mutawatir itu memberikan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) dan yaqini (pasti), karena tidak ada ruang bagi kemungkinan dusta atau salah dari para perawi. Adapun kabar ahad yang shahih, terdapat perselisihan yang banyak dan polemik yang panjang. Akan tetapi dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat.
Pertama : Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim ataupun oleh yang lain.
Ini adalah madzhab Daud Azh Zhahiri (200-270 H), Husain Al Karabisi (w. 245 H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik (menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya perkataan satu orang yang adil dari orang yang sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal sekaligus”.
Kedua: Hadits ahad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim atau oleh salah satunya, maka ia adalah qath’i tentang keshahihannya dan menghasilkan ilmu yang yakin.
Demikian ini madzhab Ibn Ash Shalah (577-643 H), dan dia mengecualikan beberapa hadits yang telah dikritik oleh para kritikus hadits seperti Daruquthni (306-380 H).
Bahkan Al Bulqini (724-805 H) mengatakan, bahwa madzhab ini juga diikuti oleh sejumlah huffazh mutaakhkhirin (para ahli hadits pada masa belakangan), seperti Abu Ishaq Asy Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al Isfiraini (344-406 H), Qadhi Abu Ath Thib (w. 308 H) dari kelompok Syafi’iyyah, As Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah, Qadhi Abdul Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah, Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al Khaththab (432-510 H), Ibn Az Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah, Ibn Furak Asy Syafi’i (w. 406 H), dan mayoritas Ahli Kalam dari Asy’ariyyah, serta seluruh ahli hadits dan madzhab Salaf secara keseluruhan.
Bahkan Ibn Thahir Al Maqdisi menambahkan : “Semua hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qaht’i, meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (726 H), Al Hafizh Ibnu Katsir (700-774 H), dan Ibnu Hajar (773-852 H) dan Ali Ibn Al Izz Al Hanafi (731-792 H).
Syaikh Abdur Rahman Dimisyqiyah dalam kitabnya, Mausu’ah Ahlis Sunnah menjelaskan, madzhab ini juga dianut oleh Abu Al Muzhaffar As Sam’ani, Abu Abdillah Muhammad Al Humaidi, As Sakhawi, As Suyuthi (849-911 H), Al Allamah Muhammad As Sindi Al Hanafi, Syaikh Waliyullah Ad Dahlawi Al Hanafi, Muhammad Anwar Al Kasymiri Ad Deobandi dan Abu Bakar Al Jashshash Al Hanafi (305-370 H).
Ketiga : Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i, akan tetapi zhanni ats tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah, Red). Di antaranya adalah Ar Razi (544-606 H), Al Ghazali (405-505 H), Al Juwaini (478 H) dan Ibn Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang ditarjih oleh Imam Nawawi t (631-670 H).
DALIL MASING-MASING MADZHAB
Tiga madzhab di atas, masing-masing memiliki argumen yang tertuang panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Akan tetapi, secara global dapat saya simpulkan sebagai berikut:
Dalil Madzhab Pertama.
1. Ilmu yaqini ini, bersifat ilmu nazhari burhani. Artinya keyakinan yang didasarkan kepada penelitian dan pembuktian. Karena itu, kemampuan melakukan penelitian serta pembuktian tidak dimiliki, kecuali oleh orang alim (berilmu) yang ahli dalam bidang hadits, yang mengetahui ihwal para perawi dan macam-macam illat. Adapun orang lain yang tidak memiliki sifat-sifat ini, tidak mungkin akan menghasilkan ilmu yaqini ini.
2. Ilmu pasti yang didapatkan oleh orang alim yang ahli ini, tidaklah terbatas pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja, sebab keduanya tidak menghimpun keseluruhan hadits shahih.
3. Ijma’ ulama telah tegak, bahwa hadits ahad adalah hujjah dan wajib diamalkan, dan tidak dapat diterima secara akal, bila ada sesuatu yang wajib diamalkan tanpa meyakini kebenarannya. Ibn Taimiyyah mengatakan: “Ijma’ yang disebutkan berkaitan dengan hadits (riwayat) satu orang yang adil dalam hal i’tiqad, mendukung ucapan orang yang mengatakan bahwa hadits ahad mewajibkan ilmu (keyakinan)”.
4. Sesungguhnya kabar Nabi n tidak boleh dusta dan salah, maka seluruh ucapan Nabi dalam agama adalah wahyu. Tidak ada khilaf, bahwa wahyu itu dari Allah dan setiap wahyu terpelihara dengan penjagaan Allah. Setiap yang dijamin oleh Allah untuk dilindungi pasti tidak akan hilang.
Dalil Madzhab Kedua.
1. Madzhab kedua ini berhujjah, bahwa hadits ahad yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya memberikan ilmu yaqini karena keagungan dua imam dalam disiplin ilmu hadits ini melebihi ulama lain.
2. Para ulama telah menerima keduanya dengan bulat. Penerimaan ini menunjukkan qarinah (indikasi) terkuat dalam memberikan ilmu yaqini, daripada sekedar banyaknya jalur yang masih di bawah mutawatir. Akan tetapi, ini khusus untuk hadits yang tidak dikritik oleh para ulama huffazh (ahli hadits) dan nuqqad (kritikus hadits) yang jumlahnya mencapai 220 hadits, 78 khusus riwayat Imam Bukhari, dan 100 khusus riwayat Imam Muslim.
Dalil Madzhab Ketiga.
1.Hadits ahad memberikan ilmu zhanni nazhari, bukan yaqini dharuri. Karena, bersambungnya dengan Nabi n memiliki satu syubhat (kesamaran), baik dalam bentuknya maupun maknanya. Adapun syubhat dalam bentuknya, yaitu karena hubungan dengan Rasul Allah tidak secara langsung. Adapun dari segi maknanya, karena umat ini menerimanya setelah generasi tabi’in. Ustadz Abu Zahrah berkata,”Karena syubhat ini, maka mereka mengatakan ‘ia wajib diamalkan, selama tidak ada yang menentangnya’.”
2. Seandainya ia memberikan keyakinan, tentu tidak ada gunanya membedakan antara mutawatir dan ahad, tentu boleh menasakh Al Qur’an dan hadits mutawatir dengannya, karena ia satu kedudukan dalam memberikan keyakinan.
3. Imam Haramain (370-478 H) berkata : “Sesungguhnya perawi itu bisa salah –seandainya salah, dan itu tidak mungkin, tentu tidak ada rawi yang ruju’ dari riwayatnya-. Apabila kemungkinan salah telah menjadi jelas, maka memastikan kebenarannya adalah mustahil”.
MADZHAB YANG RAJIH
Kita telah mengetahui, masing-masing madzab memiliki sandaran argumentasi. Akan tetapi ketiganya dapat dikompromikan. Yang kita ketahui, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad ini, diistilahkan oleh para fuqaha dan ahli hadits. Sebelumnya, pada masa sahabat dan tabi’in belum pernah dikenal. Hal ini terjadi karena kebutuhan untuk memilah-milah hadits setelah tersebarnya fitnah dan banyaknya pemalsuan hadits, dan untuk menentukan tingkatan-tingkatan hadits.
Pembagian ini sangat bermanfaat. Diantara kegunaannya, yaitu bila ada ta’arudh (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain dan tidak mungkin dikompromikan, maka memungkinkan untuk mentarjih salah satunya. Disamping itu, untuk dapat menentukan sikap yang tepat kepada orang yang menolak satu hadits ahad. Orang yang menerima istilah mutawatir dan ahad –yaitu jumhur- tidak mengkafirkan orang yang menolak satu hadits ahad atau hadits tertentu dari hadits ahad, sebab pada asalnya ia adalah zhanni at tsubut, akan tetapi perbuatannya ini adalah maksiat dan sesat.
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan Ahli Sunnah dan Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar ahad, dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya –kecuali Khawarij dan Mu’tazilah- bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannnya adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Syaukani (1173-1250 H): “Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan pada awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberi informasi zhan atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan apabila khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang bergabung dengannya dan menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pandapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (Ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia adalah memberikan ilmu (keyakinan), karena Ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, ada yang mengamalkannya dan ada yang menta’wilnya”. (Irsyad Al Fuhul, 49).
Ibn Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 2/ 50). Kesimpulannya, secara umum hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhann, akan tetapi ucapan zhanniyah al hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis.
HADITS AHAD DALAM AKIDAH
Semua ulama Ahlu Sunnah yang terbagi dalam tiga madzab di atas bersepakat, bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Jika bersifat kabar berita, maka wajib dibenarkan (dipercayai) dan diimani. Jika bersifat larangan dan perintah, maka wajib ditaati.
Sikap seperti ini merupakan Ijma, sebagaimana kesaksian Al Hafizh Ibn Abd Al Barr (463 H) penulis kitab Asy Syawahid Fi Itsbat Khabar Wahid, dia menyatakan: “Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqih dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) –sepanjang yang saya ketahui- untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah berijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau Ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqaha’ di setiap negeri, sejak zaman sahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan beberapa kelompok Ahli Bid’ah. Yakni satu kelompok kecil yang (ketidak sepakatannya) tidak dianggap sebagai perbedaan pendapat”. (At-Tamhid, 1/ 11). lebih lanjut Ibn Abd Al Barr menegaskan : “Yang kami yakini, hadits ahad mengharuskan untuk diamalkan, bukan merupakan ilmu (dharuri), seperti kesaksian dua orang saksi dan empat orang saksi. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas ahli fiqih dan atsar. Semua meyakini khabar al wahid al adl (hadits riwayat satu orang yang adil) dalam masalah aqidah; memusuhi dan mencintai karenanya, menjadikannya sebagai syari’at dan agama dalam keyakinan. Inilah pijakan Jamaah Ahlu Sunnah. Sedangkan sikap mereka dalam hukum seperti yang telah saya jelaskan”. (At Tamhid, 1/ 15).
Jadi dapat dipastikan, bahwa yang menolak hadits ahad dalam bidang aqidah adalah orang-orang Ahli Bid’ah. Mereka tidak memiliki hujjah, baik dari firman Allah, dari sabda Rasul maupun ucapan sahabat, tabi’in dan atba’ tabi’in (para pengikut tabi’in). Bahkan (menolak hadits ahad dalam masalah aqidah) bukan merupakan pendapat Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad. Karena mereka tidak menetapkan syarat mutawatir dalam hal ini. Bahkan yang menjadi ketetapan mereka adalah menerima riwayat satu orang yang adil dan sanadnya bersambung kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang pertama yang tidak menerima hadits ahad adalah Ibrahim bin Ismail bin Aliyah (193 H). Dia merupakan salah satu tokoh Jahmiyah. Setelah Imam Syafi’i mendebatnya dan membatalkan hujjah-hujjahnya, dan dia tetap mengingkari hadits ahad, maka Imam Syafi’i mengatakan : “Ibn Aliyah telah sesat. Dia duduk di pintu al-Dhawall (…???…) menyesatkan manusia”. (Mausu’ah Ahlis Sunnah 1/513). Jadi mereka tidak memiliki hujjah, kecuali hanya mengobral kata bahwa “Al Asnawi (772 H) telah berkata…, Al Amidi (631 H) telah berkata…, As Sarkhasi (494 H) telah berkata…, Al Badawi (482 H) telah berkata, dan seterusnya ………”.
Kalau pada zaman klasik dipelopori oleh Khawarij, Jahmiyah dan Mu’tazilah, lalu diikuti oleh Asy’ariyah dan Maturudiyah, seperti Al Kirmani Al Hanafi (543 H), Ar Razi (606 H) dan Al Juwaini (478 H). Maka pada abad modern ini dipelopori oleh Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Muhammad Abu Zahrah, Dr. Abdul Hamid Mutawalli, kelompok Hizbut Tahrir, dan lain-lain. Bahkan untuk menguatkan kebid’ahannya, mereka tidak segan-segan berdusta atas nama para ulama. Misalnya, seperti Syaltut yang mengatakan, bahwa menolak hadits ahad dalam bidang aqidah merupakan ijma’ Ahli Ilmu, termasuk di dalamnya, yaitu imam madzhab yang empat. (Lihat Sulaiman Al Asyqar, Ashl Al I’tiqad, 14-15).
Semoga dengan kajian ini, aqidah kita semakin mantap, kecintaan kepada Sunnah dan Ahli Sunnah semakin melekat, dan simpul kebencian kepada bid’ah semakin erat.
Malang, 19 Juli 2004
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2859-hadits-ahad-memberikan-keyakinan-yang-bersifat-nazhari.html